PROSES INOVASI PENDIDIKAN

PROSES INOVASI PENDIDIKAN
  1. Pengertian Proses Inovasi Pendidikan
Proses inovasi pendidikan adalah serangkaian aktifitas yang dilakukan oleh individu/organisasi, mulai sadar tahu adanya inovasi sampai menerapkan (implementasi) inovasi pendidikan.[1]
Kata proses mengandung arti bahwa aktivitas itu dilakukan dengan memakan waktu dan setiap saat tentu terjadi perubahan. Berapa lama waktu yang dipergunakan selama proses itu berlangsung akan berbeda antara orang atau organisasi satu dengan yang lain tergantung pada kepekaan orang atau organisasi terhadap inovasi. Demikian pula selama proses inovasi itu berlangsung akan selalu terjadi perubahan yang berkesinambungan sampai proses itu dinyatakan berakhir.
Proses inovasi pendidikan mempunyai empat tahapan, di antaranya:
1.      Invention (penemuan)
Invention meliputi penemuan-penemuan tentang sesuatu hal yang baru, biasanya merupakan adaptasi dari yang telah ada. Akan tetapi pembaharuan yang terjadi dalam pendidikan, terkadang menggambarkan suatu hasil yang sangat berbeda dengan yang terjadi sebelumnya.[2]
2.      Development (pengembangan)
Dalam proses pembaharuan biasanya harus mengalami suatu pengembangan sebelum ia masuk dalam dimensi skala besar. Development sering sekali bergandengan dengan riset, sehingga prosedur research dan development merupakan sesuatu yang biasanya digunakan dalam pendidikan.
3.      Diffusion (penyebaran)
Konsep diffusion seringkali digunakan secara sinonim dengan konsep dissemination, tetapi disini diberikan konotasi yang berbeda. Definisi diffusion menurut Roger (Cece Wijaya, 1992: 11) adalah suatu persebaran ide baru dari sumber inventionnya kepada pemakai atau penyerap yang terakhir.[3]
4.      Adopsion (penyerapan)
Menurut Katz dan Hamilton (Cece Wijaya, 1992: 12), definisi proses pembaharuan dan difusi dalam butir-butir berikut ini: penerimaan, melebihi waktu biasanya, dari beberapa item yang spesifik, idea tau praktek/kebiasaan, oleh individu-individu, group, atau unit-unit yang dapat mengadopsi lainnya berkaitan, saluran komunikasi yang spesifik, terhadap struktur sosial, dan terhadap sistem nilai atau kultur tertentu.[4]
  1. Model Proses Inovasi Pendidikan
Beberapa model proses inovasi yang berorientasi pada individual antara lain:
1.    Lavidge & steiner (1961): menyadari, mengetahui, menyukai, memilih, mempercayai, membeli.
2.    Colley (1961): belum menyadari, menyedari, memahami, mempercayai, mengembil tindakan.
3.    Rogers (1962): menyadari, menaruh perhatian, menilai, mencoba, menerim
4.    Robertson (1971): persepsi tentang masalah, menyadari, memahami, meyikapi, mengesahkan, mencaba, menerima, disonanasi.[5]
Pada model proses inovasi dalam organisasi menurut Zaltman, Duncan, dan Holbek disebutkan bahwa proses inovasi terdiri dari dua tahap yaitu, tahap permulaan dan tahap implementasi. Berikut ini akan dijelaskan tahap inovasi tersebut.
1.      Tahap Permulaan
a.       Langkah pengetahuan dan kesadaran
Proses inovasi diawali dengan adanya pengetahuan yang dimiliki oleh si penerima inovasi. Dari pengetahuan yang diperolehnya timbul kesadaran akan adanya inovasi. Jika dikaitkan dengan organisasi bahwa dengan adanya pengetahuan yang dimiliki orang-orang yang ada dalam organisasi, dimana mereka melihat adanya kesenjangan dalam organisasinya.
b.      Langkah pembentukan sikap terhadap inovasi
Dalam tahap ini anggota organisasi membentuk sikap terhadap inovasi. Ada dua hal dan dimensi sikap yang ditunjukkan terhadap adanya inovasi yaitu, sikap terbuka terhadap inovasi dan memiliki persepsi tentang potensi inovasi yang ditandai dengan adanya pengamatan yang menunjukkan potensi inovasi. Ini ditandai dengan adanya kemampuan untuk menggunakan inovasi yang telah mengarah pada keberhasilan menggunakan inovasi di masa lalu. Adanya komitmen/ kemauan untuk bekerja dan menggunakan inovasi dan sikap untuk menghadapi masalah yang timbul dalam menerapkan inovasi.
c.       Langkah pengambilan kesimpulan
Pada langkah ini si penerima inovasi mengambil keputusan untuk menerima atau menolak inovasi yang diterapkan. Sehingga tidak mengakibatkan kerugian.


2.      Tahap Penerapan (Implementasi)
Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan dalam menggunakan atau menerapkan inovasi. Dalam penerapan inovasi ada dua langkah yang dilakukan yaitu langkah awal penerapan dan langkah lanjutan pembinaan penerapan inovasi.
a.   Langkah awal mencoba menerapkan sebagian inovasi
Contoh: Dosen diminta untuk menggunakan transparansi dalam setiap kuliah yang diberikannya. Namun pada awal pelaksanaannya dosen tersebut baru menerapkan pada satu mata kuliah saja, yang selanjutnya akan diterapkan untuk setiap mata kuliah yang diberikan.
b.   Langkah kelanjutan pembinaan penerapan inovasi
Jika pada penerapan awal telah berhasil, para anggota telah mengetahui dan memahami inovasi, serta memperoleh pengalaman dalam penerapannya maka tinggal melanjutkan dan menjaga kelangsungannya.[6]
Tahap-tahap inovasi ini dapat diterapkan di Sekolah Dasar (SD), misalnya pada kurikulum SD. Saat ini beberapa sekolah telah menerapkan kurikulum terpadu (integrated curicculum). Kurikulum ini pada setiap kegiatan belajar dapat mencakup beberapa mata pelajaran yang dipadukan.
Pada awalnya inovasi ini dari seseorang dalam organisasi pada Sekolah Dasar, dimana ia telah memiliki pengetahuan tentang adanya kurikulum terpadu yang merupakan suatu inovasi. Dengan menyadari bahwa ada inovasi maka akan ada kesempatan untuk menggunakan inovasi dalam sekolahnya. Dalam hal ini pengguna melihat kondisi sekolah yang ternyata adanya kurikulum yang padat dan waktu yang tersedia relatif singkat untuk dapat menyelesaikan keseluruhan materi pelajaran, dibandingkan dengan kurikulum terpadu. Adanya kesenjangan tersebut membentuk sikap ingin berubah dan menerima inovasi. Kemudian mereka melakukan evaluasi sebelum mengambil keputusan, lalu mencoba menerapkan pada beberapa mata pelajaran di beberapa kelas yang selanjutnya akan diterapkan di seluruh kelas.
Perkembangan suatu inovasi didorong oleh motivasi untuk melakukan inovasi pendidikan itu sendiri. Motivasi itu bersumber pada dua hal yaitu, kemauan sekolah atau lembaga untuk mengadakan respon terhadap tantangan perubahan masyarakat dan adanya usaha untuk menggunakan sekolah dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
Perkembangan inovasi dalam pendidikan di Indonesia di antaranya adalah:
1)      Pemerataan kesempatan belajar, untuk menanggulangi jumlah usia sekolah yang cukup banyak di Indonesia. Pemerintah menciptakan sistem pendidikan yang dapat menampung sebanyak mungkin anak usia sekolah, salah satunya adalah didirikannya SD Pamong, SMP Terbuka, Universitas Terbuka.
2)      Kualitas pendidikan untuk menanggulangi kurangnya jumlah guru, dengan diiringi merosotnya mutu pendidikan pemerintah dalam hal ini meningkatkan mutu pendidikan misalnya penataran guru melalui radio, modul.
3)      Penggunaan multi media dalam pembelajaran. Pendidikan harus diusahakan agar memperoleh hasil yang baik dengan dana dan waktu yang sedikit. Ini berarti harus dicari sistem pendidikan dan pengajaran yang efektif dan efisien. Di antaranya dengan memanfaatkan lembar kerja siswa dan media KIT IPA.[7] 
  1. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses Inovasi Pendidikan
Lembaga pendidikan formal adalah suatu subsistem dari sistem sosial, jika terjadi perubahan dalam sistem sosial maka lembaga pendidikan formal juga mengalami perubahan, demikian sebaliknya. Olehnya itu, lembaga pendidikan mempunyai beban ganda yaitu melestarikan nilai-nilai budaya dan mempersiapkan generasi muda agar dapat menghadapi tantangan kemajuan jaman.
Motivasi yang mendorong perlunya diadakan inovasi pendidikan bersumber pada dua hal yaitu : kemauan sekolah (lembaga pendidikan) untuk mengadakan respon terhadap tantangan kebutuhan masyarakat dan adanya usaha untuk menggunakan sekolah (lembaga pendidikan) untuk memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Antara lembaga pendidikan dan sistem sosial terjadi hubungan yang erat dan saling mempengaruhi.
Ada tiga hal yang berpengaruh besar terhadap kegiatan di sekolah (lembaga pendidikan) :
1.      Faktor kegiatan belajar mengajar.
Yang menjadi kunci keberhasilan dalam pengelolaan kegiatan belajar mengajar ialah kemampuan guru sebagai tenaga profesional.[8] Guru sebagai tenaga yang telah dipandang memiliki keahlian tertentu dalam bidang pendidikan, diserahi tugas dan wewenang untuk mengelola kegiatan belajar mengajar agar dapat mencapai tujuan tertentu, yaitu terjadinya perubahan tingkah laku siswa sesuai dengan tujuan pendidikan nasional dan tujuan institusional yang telah dirumuskan.[9] Dalam pelaksanaan tugas pengelolaan kegiatan belajar mengajar, terdapat berbagai faktor yang menyebabkan orang memandang bahwa pengelolaan kegiatan belajar mengajar adalah kegiatan yang kurang (setengah) profesional, kurang efektif, dan kurang perhatian.
Beberapa alasan mengapa orang memandang tugas guru dalam mengajar mengandung banyak kelemahan :[10]
a.       Hubungan interpersonal guru dan siswa.
Dengan kemampuan yang sama belum tentu menghasilkan prestasi belajar yang sama jika menghadapi kelas yang berbeda, demikian pula sebaliknya, dengan kondisi kelas yang sama diajar oleh guru yang berbeda belum tentu menghasilkan prestasi belajar yang sama, meskipun para guru tersebut telah memenuhi persyaratan sebagai guru yang profesional.
b.      Kegiatan belajar mengajar terisolasi dari kritik teman sejawat.
Kegiatan guru di kelas merupakan kegiatan yang terisolasi dari kegiatan kelompok, guru yang lain tidak mengetahui, maka sukar untuk mendapatkan kritik untuk pengembangan profesinya. Apa yang dilakukan guru di kelas seolah-olah sudah merupakan hak mutlak tanggung jawabnya. Padahal mungkin masih banyak kekurangannya.
c.       Ketiadaan kriteria yang baku tentang keefektifan belajar mengajar.
Kriteria pengelolaan kegiatan belajar mengajar sukar ditentukan karena sangat banyak variabel yang ikut menentukan keberhasilan kegiatan belajar siswa.
d.      Waktu yang terbatas.
Dengan keterbatasan waktu guru tidak mungkin dapat melayani siswa dengan memperhatikan perbedaan individual satu dengan yang lain.

e.       Tujuan pembelajaran yang sama untuk siswa yang berbeda.
Berdasarkan perbedaan individual siswa, akan lebih tepat jika pengelolaan kegiatan belajar mengajar dilakukan dengan cara yang sangat fleksibel. Kenyataannya guru dituntut untuk mencapai perubahan tingkah laku yang sama bagi semua anak dan jika ini tidak tercapai dapat menimbulkan anggapan diragukan kualitas profesionalnya.
f.       Minimnya waktu untuk meningkatkan kompetensi.
Dalam usaha untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya, guru diperhadapkan pada ketiadaan keseimbangan antara kemampuan dan wewenang mengatur beban kerja, tanpa bantuan dari lembaga dan tanpa insentif yang memadai. Hal ini menyebabkan program pertumbuhan jabatan atau peningkatan profesi guru mengalami hambatan.
g.      Banyaknya tuntutan.
Tuntutan kerja yang banyak membuat guru kesulitan dalam menentukan skala prioritasnya, misalnya yang mana didahulukan perubahan tingkah laku atau kognitif siswa. Dan masih banyak lagi tuntutan yang lain.
Jika profesional yang penuh, maka akan memberi peluang pada anggotanya untuk :
1)            Menguasai kemampuan profesional yang ditunjukkan dalam penampilan.
2)            Memasuki anggota profesi dan penilaian terhadap penampilan profesinya, diawasi oleh kelompok profesi (teman sejawat).
3)            Ketentuan untuk berbuat profesional, ditentukan bersama antar sesama anggota profesi.
2.      Faktor internal dan eksternal
Keunikan dari sistem pendidikan adalah baik pelaksana maupun klien adalah kelompok manusia. Perencana inovasi pendidikan harus memperhatikan mana kelompok yang mempengaruhi dan mana kelompok yang dipengaruhi.
Faktor internal yang dimaksud adalah siswa, siswa menjadi pusat perhatian dan bahan pertimbangan dalam melaksanakan berbagai kebijakan pendidikan.
Faktor eksternal yang berpengaruh dalam proses inovasi pendidikan ialah orang tua, baik secara moral maupun finansial. Di Amerika yang berperan sebagai faktor ekstenal adalah juga para pembayar pajak pendidikan yang diatur tersendiri berdasarkan pada kemampuan atau kekayaan masing-masing.
Ahli pendidik (profesi pendidikan) merupakan faktor internal dan juga faktor eksternal seperti guru, administrator pendidikan, konselor. Para ahli luar organisasi sekolah seperti pengawas, inspektur, penilik sekolah, konsultan dan pengusaha yang membantu pengadaan fasilitas sekolah. Para penatar guru dan organisasi persatuan guru juga dapat dipandang sebagai faktor eksternal.
3.      Sistem pendidikan (pengelolaan dan pengawasan)
Penyelenggaraan pendidikan di sekolah diatur dengan aturan yang dibuat pemerintah, mulai dari cara berpakaian, kegiatan waktu istirahat, sampai pada kegiatan belajar di kelas.
Dengan aturan tersebut timbul permasalahan sejauh mana batas kewenangan guru untuk mengambil kebijakan dalam melakukan tugasnya yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi setempat. Demikian pula sejauh mana kesempatan yang diberikan kepada guru untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya guna menghadapi tantangan kemajuan jaman. Dampak dari keterbatasan tersebut menimbulkan siklus otoritas yang negatif bagi guru yang dikemukakan oleh Florio (1973) dan dikutip oleh Zaltman (1977).


[1] Sa’ud, Udin Syaefudin. 2010. Inovasi Pendidikan. Bandung: Alfabeta, hal. 45.
[2] Cece, Djadja & Tabrani. 1992. Upaya Pembaharuan Dalam Pendidikan dan Pengajaran. Bandung PT Remaja Rosdakarya, hal. 10.
[3] Ibid. hal. 11
[4] Hermawan, Heris dkk. 2008. Landasan Pendidikan. Bandung: Insan Mandiri, hal. 171-172.
[6] Sa’ud, Udin Syaefudin. 2010. Inovasi Pendidikan. Bandung: Alfabeta, hal. 49-52.
[8] Badrudin, dkk. 2010. Pengembangan Kepribadian Guru. Bandung: CV. Insan Mandiri, hal. 29.
[9] Ibid, hal. 29.
[10] Kusmana, Suherli. 2010. Manajemen Inovasi Pendidikan. Ciamis: Unigal Press.

Comments

Popular posts from this blog

B. RUANG LINGKUP MANAJEMEN PESERTA DIDIK (Lanjutan)

MANAJEMEN PENGEMBANGAN KURIKULUM