KONSEP KEBIJAKAN PENDIDIKAN

KONSEP KEBIJAKAN PENDIDIKAN
(Batasan Kebijakan, Batasan Pendidikan Dan Komponen Kebijakan Pendidikan)

  1. Batasan Kebijakan
Secara etimologis, kebijakan merupakan terjemahan dari kata policy, dalam bahasa Inggris. Kata policy sebenarnya dapat dijumpai dalam bahasa lain seperti Latin, Yunani, dan Sanskrit. Polis dalam bahasa Yunani berarti negara kota. Pur dalam bahasa Sanskrit berarti kota. Policie dalam bahasa Inggris berarti mengurus masalah atau kepentingan umum, atau juga berarti administrasi pemerintah.
Secara terminologis, pengertian kebijaksanaan atau policy dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut:
1)      Laswell (1970) mendefinisikan kebijaksanaan sebagai suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktik-praktik yang terarah (a projected program of goals values and practices).
2)      Heclo dalam Jones (1977) memberikan batasan kebijaksanaan sebagai cara bertindak yang sengaja dilaksanaan untuk menyelesaikan masalah-masalah.
3)      Eulau dalam Jones mengartikan kebijaksanaan sebagai keputusan yang tetap, dicirikan oleh tindakan yang bersinambungan dan berulang-ulang pada mereka yang membuat dan melaksanakan kebijaksanaan.
4)      Amara Raksasa Taya dalam Tjokro Amidjoyo (1976) memberikan batasan kebijaksanaan sebagai suatu taktik atau strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan.
5)      Budiarjo dalam Supandi (1988) menyatakan bahwa kebijaksanaan adalah sekumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Pada prinsipnya, pihak yang membuat kebijaksanaan-kebijaksanaan itu mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya.
6)      Indrafachrudi (1984) memberikan pengertian policy sebagai suatu ketentuan pokok yang menjadi dasar dan arah dalam melaksanakan kegiatan administrasi atau pengelolaan.
Para ahli yang melihat dari sudut pelaksanaan adalah Lasswell, Heclo, dan Budiardjo. Sedangkan yang melihat dari sudut produk adalah Eulau dan Indrafachrudi. Sementara ahli yang memberikan pengertian kebijaksanaan dari sudut seni memerintah adalah Amara Raksasa Taya.
Perbedaan antara kebijaksanaan dan kebijakan bahwa kebijaksanaan adalah aturan-aturan yang semestinya dan harus diikuti tanpa pandang bulu, mengikat kepada siapa pun yang dimaksud untuk diikat oleh kebijaksanaan tersebut. Sedangkan kebijakan atau wisdom adalah suatu ketentuan dari pimpinan yang berbeda dengan aturan yang ada, yang dikenakan kepada seseorang karena adanya alasan yang dapat diterima untuk tidak memberlakukan aturan yang berlaku.
  1. Batasan Pendidikan
Menurut UU No.20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Batasan tentang pendidikan yang dibuat oleh para ahli beranekaragam, dan kandungannya berbeda yang satu dari yang lain. Perbedaan tersebut mungkin karena orientasinya, konsep dasar yang digunakan, aspek yang menjadi tekanan, atau karena falsafah yang melandasinya:
1)      Pendidikan sebagai Proses Transformasi Budaya
Sebagai proses transformasi budaya, pendidikan diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Nilai-nilai budaya tersebut mengalami proses transformasi dari generasi tua ke generasi muda. Ada tiga bentuk transformasi yaitu nilai-nilai yang masih cocok diteruskan misalnya nilai-nilai kejujuran, rasa tanggung jawab, dan lain-lain.
2)      Pendidikan sebagai Proses Pembentukan Pribadi
Sebagai proses pembentukan pribadi, pendidikan diartikan sebagai suatu kegiatan yang sistematik dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik. Proses pembentukan pribadi melalui 2 sasaran yaitu pembentukan pribadi bagi mereka yang belum dewasa oleh mereka yang sudah dewasa dan bagi mereka yang sudah dewasa atas usaha sendiri.
3)      Pendidikan sebagai Proses Penyiapan Warga Negara
Pendidikan sebagai penyiapan warga Negara diartikan sebagai suatu kegiatan yang terencana untuk membekali peserta didik agar menjadi warga Negara yang baik.
4)      Pendidikan sebagai Penyimpanan Tenaga Kerja
Pendidikan sebagai penyimpanan tenaga kerja diartikan sebagai kegiatan membimbing peserta didik sehingga memiliki bekal dasar untuk bekerja. Pembekalan dasar berupa pembentukan sikap, pengetahuan, dan keterampilan kerja pada calon luaran. Ini menjadi misi penting dari pendidikan karena bekerja menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia.

Tiap proses dalam pendidikan memiliki berbagai keterbatasan, yaitu :
1)      Batas-batas pendidikan pada peserta didik.
Peserta didik sebagai manusia memiliki perbedaan, dalam kemampuan, bakat, minat, motivasi, watak, ketahanan, semangat, dan sebagainya. Sehingga hal tersebut dapat membatasi kelangsungan hasil pendidikan, solusinya pendidik harus mencari metode-metode pembelajaran sehingga dapat berkembang seoptimal mungkin.
2)      Batas-batas pendidikan pada pendidik.
Sebagai manusia biasa, pendidik memiliki keterbatasan-keterbatasan. Namun yang menjadi permasalahan adalah apakah keterbatasan itu dapat ditolerir atau tidak. Keterbatasan yang dapat ditolerir ialah apabila keterbatasan itu menyebabkan tidak dapat terwujudnya interaksi antara pendidik dan peserta didik, misalnya pendidik yang sangat ditakuti oleh peserta didik sehingga tidak mungkin peserta didik datang berhadapan dengannya. Pendidik yang tidak tahu apa yang akan menjadi isi interaksi dengan peserta didik, akan menjadikan kekosongan dan kebingungan dalam interaksi. Serta pendidik yang bermoral, termasuk yang tidak dapat ditolerir, karena pendidikan pada dasarnya adalah usaha yang dilandasi moral.
3)      Batas-batas pendidikan dalam lingkungan dan sarana pendidikan.
Lingkungan dan sarana pendidikan merupakan sumber yang dapat menentukan kualitas dan berlangsungnya usaha pendidikan. Lingkumgan dan sarana yang tidak memadai, akan menghambat berlangsungnyaproses pendidikan. Disini pendidik harus lebih kreatif dengan memanfaatkan alam sekitar sebagai sumber proses pembelajaran.
Pada pendidikan yang sesungguhnya dari anak dituntut pengertian bahwa ia harus memahami apa yang dikehendaki oleh pemegang kewibawaan dan menyadari bahwa hal yang diajarkan adalah perlu baginya. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa cirri utama dari yang sesungguhnya ialah adanya kesiapan intraksi edukatif dari pendidik dan terdidik.[1]
Sebelum mengemukakan batas pendidikan Islam, untuk perbandingan akan diutarakan terlebih dahulu beberapa pendapat ahli tentang batas pendidikan. Pendapat-pendapat tersebut dikemukakan oleh M.J. Langeveld, Ki Hajar Dewantara. J.J.Rousseau.
1)      M. J. Langeveld Ia berpendapat bahwa pendidikan bagi seorang anak dapat dimuali pada saat ia mengenal kewibawaan dan berakhir bila anak telah dapat bertanggung jawab (mencapai kedewasaan).Dengan demikian, sebelum anak mengenal kewibawaan pendidikannya, ia belum bisa atau belum siap menerima pendidikan. Bila anak sudah menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab, Ia tidak membutuhkan pendidikan lagi.
2)      Ki Hajar Dewantara Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan dimuali sejak anak lahir dan berakhir setelah tercapainya kedewasaan (berumur 24 tahun). Begitu anak lahir ia sudah dapat menerima pengaruh edukatif dari pendidikannya, sekalipun ia belum menyadari pengaruh tersebut. Pendidikan sudah dapat memulai pembentukan dan pembinaan kepribadian anaknya sejak hari kelahirannya. Setelah anak itu menajdi orang dewasa, berakhirlah proses pendidikan. Ia sudah memenuhi kebutuhan hidupnya dengan kekuatannya sendiri.
3)      J. J. Rousseau memandang bahwa pendidikan itu mempunyai pengaruh positif dan pengaruh negatif terhadap perkembangan kepribadian anak. Pendidikan dalam arti negatif dimuali sejak anak lahir hingga umur 12 tahun. Sedangkan pendidikan dalam arti positif dimulai sejak anak berumur 12 tahun sampai terwujudnya kedewasaan yang  umur 20 tahun. Rousseau berpendapat, bahwa sejak lahir menjelang umur 12 tahun. Anak mempunyai motivasi sendiri (intrinsic motivation) untuk berkembang. Bahkan campur tangan orang dewasa dalam mempengaruhi anak akan merusak kesucian anak. Berbeda halnya bila anak telah mencapai umur 12 tahun. Pendidikan perlu mendidiknya, mempengaruhinya dalam memberikan motivasi (ekstrinsic motivation) untuk mendapatkan pengalaman-pengalaman yang berguna sampai ia dewasa (berumur 20 tahun).
Batas ialah suatu yang menjadi hijab atau ruang lingkup; awal dan akhir berarti memiliki permulaan dan akhir. Sedangkan pendidikan adalah pengaktualisasian fitrah insaniyah yang manusiawi dan potensial agar manusia dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya (individual, sosial, religius).[2]
a)      Batas (awal) pendidikan Islam
Yang dimaksud dengan batas awal pendidikan Islam ialah saat kapan pendidikan Islam itu dimulai. Syahminan Zaini mengemukakan bahwa pendidikan Islam harus dimulai semenjak seorang laki-laki dan seorang perempuan mengikat tali perkawinan. Sebab sah atau tidaknya perkawinan akan mempengaruhi kehidupan suatu keluarga dan keturunan mereka. Suatu keluarga yang hidup tanpa perkawinan yang sah selalu berada dalam keadaan berdosa. Dosa menurut Islam mengotori hati manusia. Pembentukan keluarga sangat perlu diperhatikan untuk mewujudkan keturunan yang Islami. Pemuda muslim perlu memperhatikan wanita calon isterinya.
Proses pendidikan Islam akan berjalan lebih baik, bila sang isteri adalah wanita saleh (taat melaksanakan ajaran Islam).Sebaliknya, betapapun suami berkeinginan mendidik anak-anaknya dengan tatanan Islam, namun akan terkendala bila isterinya acuh tak acuh terhadap agamanya. Berkenaan dengan hal ini, Rasulullah SAW memesankan: “Wanita dinikahi karena empat faktor, yaitu karena hartanya, kebangsaannya, kecantikannya dan agamanya. Pilihlah wanita yang kuat agamanya, niscaya hidupmu bahagia.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah).[3]
Dalam hadits lain Rasulullahh SAW: “Pilihlah isteri yang baik untuk tempat anakmu, sebab sesungguhnya turunan darah itu mempunyai pengaruh besar.” Wanita yang taat menjalankan ajaran agamanya, biasanya berkeinginan dan berusaha mengasuh, membimbing dan mendidik anak-anaknya sesuai dengan ajaran agamatersebut.
Pendidikan sang ibu akan lebih berkesan dan lebih berpengaruh dari pada pendidikan yang dilakukan oleh bapak. Sebab, pada fase awal kehidupan anak, ia lebih banyak bergaul dengan ibunya dibangdingkan dengan bapaknya.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pendidikan Islam dalam pengertian yang luas dimuali sejak seorang muslim/muslimah memilih pasangan hidupnya atau pada awal pembentukan keluarga. Dengan demikian, pendidikan Islam bagi seorang anak sudah dimuali jauh sebelum ia dilahirkan.
Para ahli paedagogik muslim dan non muslim mempunyai pendapat yang beragam akan hal ini. Mereka hanya sepakat bahwa pendidikan itu adalah suatu usaha dan proses mempunyai batas-batas tertentu. Langevel, memberikan batas awal (bawah) pendidikan pada saat anak sudah berusia kurang lebih 4 tahun, yakni pada usia ini telah terjadi mekanisme untuk mempertahankan dirinya (eksistensi) perubahan besar dalam jiwa seseorang anak di mana sang anak telah mengenal aku-Nya. Sehingga si anak sudah mulai sadar/mengenal kewibawaan (gezag), seperti yang telah dikemukakan diatas.[4]
Kewibawaan dalam pendidikan adalah kesediaan untuk mengalami adanya pengaruh dan menerima pengaruh (anjuran) orang lain atas dasar sukarela. Bukan karena takut atau terpaksa.[5]
 Melalui orang tuanya sebagai pendidik sehingga batas awal pendidikan pada saat anak dalam kandungan ibunya, lebih jauh dari itu yakin pada saat memilih calon pasangan hidup (suami isteri).[6] Di mana anak akan lahir, tidaklah terlepas dari pengaruh perilaku orang tuanya yang mendidik dan membesarkannya.
Anak dalam kaitannya dalam pendidikan menurut ajaran Islam adalah fitrah atau ajaran bagi orang tuanya. Sebagaimana Hadis Rasulullah saw. yang artinya: Setiap anak itu dilahirkan atas fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikan Nasrani atau Majusi.
b)      Batas akhir pendidikan Islam
Sebelum anak mengenal kewibawaan (gezag) dari pendidik maka peristiwa pendidikan belum ada, dan yang ada hanya latihan dan pembiasaan saja. Kewibawaan yang dimaksud adalah kekuatan batin yang dimiliki oleh pendidik yang ditaati oleh anak didik. Langevel memandang pendidikan itu sebagai suatu pergaulan antara anakdidik dengan pendidik. Tugas pendidik ialah mendewasakan anak didik (manusia muda) dengan membimbing sampai pada tingkat kedewasaan (jasmani dan rohani). Sehingga dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab secara etis.
Adapun tujuan akhir pendidikan Islam menurut Imam al-Gazali adalah untuk mencapai keutamaan dan taqarrub (pendekatan diri kepada Allah). Sejalan dengan hal di atas jelaslah bahwa batas pendidikan versi Langevel agak realistik pragmatik, maka batas pendidikan Islam lebih idealistik dan pragmatik menurut Islam, pendidikan itu berlangsung dari buaian sampai ke liang lahat.
Muhammad Munir Mursa mengatakan bahwa pendidikan islam tidak terbatas pada suatu priode atau jenjang tertentu, tetapi berlangsung sepanjang hayat. Ia merupakan pendidikan ” dari buaian hingga liang lahat “ selalu memperbarui diri, serta terus menerus mengembangkan kepribadian dan memperkaya kemanusiaan. Dengan perkataan lain, ia senantiasa membimbing manusia untuk maju.[7]
  1. Komponen Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan mengadung 3 (tiga) komponen penting yang saling berkaitan dalam proses formulasi kebijakan pendidikan yakni Pelaku Kebijakan, Isi Kebijakan dan Lingkungan Kebijakan.
1)      Pelaku Kebijakan
Orang-orang atau pelaku yang terlibat dalam perumusan kebijakan disebut juga dengan aktor kebijakan. Menurut James Anderson aktor kebijakan dibagi kedalam dua peran yakni pelaku resmi dan pelaku tidak resmi.
a)      Pelaku resmi, yang termasuk dalam pelaku resmi adalah pemerintah yang terdiri dari:
v  Legislatif
Legislatif adalah lembaga yang bertugas merumuskan dan membentuk kebijakan berupa undang-undang dan menjadi sebuah kebijakan. Dimana undang-undang tersebut menjadi payung hukum bagi pembuatan kebijakan publik pada level berikutnya seperti instruksi presiden, peraturan pemerintah, keputusan-keputusan hingga peraturan daerah dibawahnya.
v  Eksekutif
Setelah kebijakan dibuat oleh lembaga legislatif makan fungsi eksekutif adalah melaksanakan kebijakan publik tersebut atau kata lain mengimplementasikan kepada publik apa saja isi dari pada sebuah kebijakan yang telah lahir tersebut.

v  Yudikatif
Lembaga pemerintah ini bertugas mengawasi dan memberikan pertimbangan sanksi apabila kemudian terdapat kesalahan atau kekeliruan dalam proses implementasi sebuah kebijakan publik tersebut.
b)      Pelaku tidak resmi, biasa berasal dari luar lembaga pemerintah seperti kelompok kepentingan, partai politik, organisasi massa, warga negara dan individu. Pelaku tidak resmi ini tidak mempunyai peran dalam pengambilan keputusan kebijakan akan tetapi mereka berperan dalam memberikan saran, usul, masukkan bahkan intervensi kepada pelaku resmi pembuat kebijakan agar dapat meloloskan atau menggunakan bentuk kebijakan yang mereka inginkan.
2)      Lingkungan Kebijakan
Teori sistem berpendapat bahwa pembuatan kebijakan publik tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan itu sendiri. Tuntutan terhadap kebijakan dapat dilahirkan karena pengaruh lingkungan dan ditransformasikan kedalam suatu sistem politik. Akan tetapi proses perumusan kebijakan publik yang dihasilkan tentu memperhatikan pula faktor lingkungan antara lain ; sumber daya alam, iklim, topografi, jumlah penduduk, distribusi penduduk, lokasi spasial, kebudayaan, struktur sosial, sistem ekonomi dan politik. Dalam kasus kebijakan tertentu perlu diperhatikan pula lingkungan internasional dan kebijakan internasional (Anderson,1979). Lingkungan sangat berpengaruh terhadap isi kebijakan, sebab dari lingkunganlah pelaku kebijakan dapat menyusun sebuah strategi pembuatan suatu isi kebijakan bagi ruang publik. Kebijakan pendidikan sebagai pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat sehingga pelaku kebijakan dalam membuat kebijakan pendidikan harus benar-benar memperhatikan lingkungan dimana tuntutan sebuah kebijakan berasal.

3)      Isi Kebijakan
Yang dimaksud dengan isi kebijakan adalah hasil akhir dari pada sebuah formulasi kebijakan yang telah terwujud dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah hingga peraturan daerah. Wujud dari pada kebijakan publik tersebut tertuang dalam isi kebijakan yang memuat pertimbangan, penetapan dan keputusan yang selanjutnya terdiri atas bab dan pasal hingga aturan-aturan tambahan. Isi dari pada kebijakan tentu disesuaikan dengan kondisi lingkungan setempat dimana kebijakan itu berasal, apabila isi kebijakan tidak diarahkan pada suatu kondisi lingkungan yang sesuai maka akan terjadi kegagalan implementasi kebijakan publik sendiri. Isi kebijakan tentu tentu harus betul-betul mengakomodir kepentingan pendidkan dan bukan kepentingan golongan tertentu sehingga dapat menjawab tuntutan masyarakat. 


DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Said Zainal. (2006). Kebijakan Publik. Jakarta: Suara Bebas.
Darajat, Zakiah, dkk. (2008). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Dunn, William. (1988). Analisa Kebijakan Publik. Yogyakarta: PT. Hanindita.
Imron, Ali. (2008). Kebijakan Pendidikan di Indonesia. Jakarta:Bumi Aksara.
Sam, Tuti T dan Sam M. Chan. (2008). Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah (Analisis SWOT). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
http//:ilmu pendidikan islam,kemungkinan dan keterbasan pendidikan.com

[1] Zakiah darajat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi aksara, 2008), hal. 48-49.
[2] Abdurrahman, 1988: 13.
[3] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), hal. 303.
[4] Amier Daien Indra Kusuma, 1973 : 33.
[5] M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), hal. 48.
[6] Ahmad Izzuddin, 1987 : 109.
[7] Hery Noer Aly ,Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1999), hal. 137.

Comments

Popular posts from this blog

PROSES INOVASI PENDIDIKAN

B. RUANG LINGKUP MANAJEMEN PESERTA DIDIK (Lanjutan)

HAKIKAT KOMUNIKASI