Manajemen Berbasis Sekolah ( School Based Management )
A. Manajemen Berbasis
Sekolah ( School Based Management )
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
adalah suatu pendekatan praktis yang bertujuan untuk mendesain pengelolaan
sekolah dengan memberikan kekuasaan kepada sekolah dan meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam uoaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, kepala
sekolah, orang tua siswa dan masyarakat. MBS merubah system pengambilan
keputusan dengan memindahkan otoritas dalam pengambilan keputusan dan manajemen
ke setiap kelompok yang berkepentingan di setiap dasar.[1]
Manajemen
berbasis sekolah (MBS) adalah bentuk alternatif sekolah sebagai hasil dari
desentralisasi pendidikan. Secara umum, manajemen peningkatan mutu berbasis
sekolah (MPMBS) dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi
lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif
yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah (guru, siswa, kepala
sekolah, karyawan, orang tua siswa, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu
sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.
a.
Paradigma Manajemen Berbasis Sekolah
Paradigm konsep MBS mempunyai multi
dimensi, baik di lihat dari dari dimensi politik, edukatif, administrative, dan
financial. Dilihat dari dimensi politik ternyata mempunya empat aspek yaitu :
1). Nilai sosial, 2). Sumber kekuatan politik, 3). Pengujian kekuatan, 4).
Senjata politik. Namun MBS juga mempunyai dampak positif dalam 1). Peningkatan dan perbaikan
pendidikan., 2). Efisiensi, 3). Pencapaian tujuan politik, 4). Terciptanya
keadilan dan pemerataan pendidikan,[2]
b.
Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah.
a)
Mensosialisasikan konsep dasar manajemen peningkatan mutu berbasis
sekolah khususnya kepada masyarakat.
b)
Memperoleh masukan agar konsep manajemen ini dapat diimplementasikan
dengan mudah dan sesuai dengan kondisi lingkungan indonesia yang memiliki
keragaman kultural, sosio ekonomi masyarakat dan kompleksitas geografisnya.
c)
Menambah wawasan pengetahuan masyarakat khususnya masyarakat
sekolah dan individu yang peduli terhadap pendidikan, khususnya peningkatan
mutu pendidikan.
d)
Memotivasi masyarakat sekolah untuk terlibat dan berfikir mengenai
peningkatan mutu pendidikan/ pada sekolah masing-masing.
e)
Menggalang kesadaran masyarakat sekolah utuk ikut serta secara
aktif dan dinamis dalam mensukseskan peningkatkan mutu pendidikaan.
f)
Memotivasi timbulnya pemikiran-pemikiran baru dalam mensukseskan
pembangunan pendidikan dari individu dan masyarakat sekolah yang berada digaris
paling depan dalam proses pembangunan tersebut.
g)
Menggalang kesadaran bahwa peningkatan mutu pendidikan merupakan
tanggung jawab semua komponen masyarakat, dengan fokus peningkatan mutu yang
berkelanjutan (terus menerus) pada tataran sekolah.
h)
Mempertajam wawasan bahwa mutu pendidikan pada tiap sekolah harus dirumuskan
dengan jelas dan dengan target mutu yang harus dicapai setiap tahun. 5 tahun,
sehingga tercapai misi sekolah kedepan.[3]
Kewenangan yang bertumpu pada sekolah merupakan inti dari
MBS yang dipandang memiliki tingkat efektivitas tinggi serta memberikan
beberapa keuntungan berikut:
a.
Kebijaksanaan dan
kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada peserta didik, orang tua,
dan guru.
b.
Bertujuan bagaimana
memanfaatkan sumber daya lokal.
c.
Efektif dalam melakukan
pembinaan peserta didik seperti kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan,
tingkat putus sekolah, moral guru, dan iklim sekolah.
d.
Adanya
perhatian bersama untuk mengambil keputusan, memberdayakan guru, manajemen
sekolah, rancangan ulang sekolah, dan perubahan perencanaan.
Manfaat MBS
MBS memberikan beberapa manfaat
diantaranya
a. Dengan
kondisi setempat, sekolah dapat meningkatkan kesejahteraan guru sehingga dapat
lebih berkonsentrasi pada tugasnya;
b. Keleluasaan
dalam mengelola sumberdaya dan dalam menyertakan masyarakat untuk berpartisipasi,
mendorong profesionalisme kepala sekolah, dalam peranannya sebagai manajer
maupun pemimpin sekolah;
c. Guru
didorong untuk berinovasi;
d. Rasa
tanggap sekolah terhadap kebutuhan setempat meningkat dan menjamin layanan
pendidikan sesuai dengan tuntutan masyarakat sekolah dan peserta didik.
c.
Karakteristik dan Prinsip Manajemen Berbasis Sekolah.
Beberapa indikator yang menunjukan
karakter dari konsep manajemen ini antara lain sebagai berikut;
i.
Lingkungan sekolah yang aman dan tertib,
ii.
Sekolah memiliki misi dan target mutu yang ingin dicapai,
iii.
Sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat
iv.
Adanya harapan yang tinggi dari personel sekolah untuk berprestasi
v.
Adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan
IPTEK
vi.
Adanya pelaksanaan evaluasi
vii.
Adanya komunkasi dan dukungan intensif dari orang tua
murid/masyarakat.[4]
Ada empat hal yang terkait dengan prinsip-prinsip pengelolaan
kualitas total, yaitu:
1. Prinsip Ekuifinalitas (Principle of
Equifinality)
Prinsip ini
didasarkan pada teori manajemen modern yang berasumsi bahwa terdapat beberapa
cara yang berbeda-beda untuk mencapai suatu tujuan. MBS menekankan
fleksibilitas sehingga sekolah harus dikelola oleh warga sekolah menurut
kondisi mereka masing-masing.
2. Prinsip
Desentralisasi (Principle of Decentralization)
Desentralisasi
adalah gejala yang penting dalam reformasi manajemen sekolah modern. Prinsip
desentralisasi ini konsisten dengan prinsip ekuifinaltias. Prinsip
desentralisasi dilandasi oleh teori dasar bahwa pengelolaan sekolah dan
aktivitas pengajaran tak dapat dieleakkan dari kesultian dan permasalhaan
3. Prinsip
Sistem Pengelolaan Mandiri
MBS tidak
mengingkari bahwa sekolah perlu mencapai tujuan-tujuan berdasarkan suatu
kebijakan yang telah ditetapkan, tetapi terdapat berbagai cara yang
berbeda-beda untuk mencapainya.
4. Prinsip
Inisiatif Manusia (Principle of Human Initiative)
Perspektif
sumber daya manusia menekankan bahwa orang adalah sumber daya berharga di dalam
organisasi sehingga poin utama manajeman adalah mengembangkan sumber daya
manusia di adalam sekolah untuk berinisitatif[5]
d.
Strategi
Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah.
Strategi
penerapan MBS dalam rangka mendayagunakan MBS adalah 1). Menyusun Rencana
Sekolah, 2). Mengelola sekolah berdasarkan rencana sekolah dan rencana
anggaran, 3). Memfungsikan masyarakat agar berpartisifasi dalam penerapan MBS.[6]
Salah satu strategi adalah menciptakan prakondisi yang
kondusif untuk dapat menerapkan MBS, yakni :
1.
Peningkatan kapasitas dan
komitmen seluruh warga sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua siswa. Upaya
untuk memperkuat peran kepala sekolah harus menjadi kebijakan yang mengiringi
penerapan kebijakan MBS. ”An essential point is that schools and teachers will
need capacity building if school-based management is to work”. Demikian De
grouwe menegaskan.
2.
Membangun budaya sekolah
(school culture) yang demokratis, transparan, dan akuntabel. Termasuk
membiasakan sekolah untuk membuat laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat.
Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yang dilakukan oleh
Managing Basic Education (MBE) merupakan tahap awal yang sangat positif. Juga
membuat laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster tentang
rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan ketua
Komite Sekolah dapat tampil bersama dalam media tersebut.
3.
Pemerintah pusat lebih
memainkan peran monitoring dan evaluasi. Dengan kata lain, pemerintah pusat dan
pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan
evaluasi pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang
diterima sekolah.
4.
Mengembangkan model
program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan MBS, yang
lebih banyak dipenuhi dengan pemberian informasi kepada sekolah. Model
pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih
memberikan hasil yang lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola lama berupa
penataran MBS.
e.
Tahapan Penerapan MBS
1)
Sosialisasi.
2)
Identifikasi Tatangan sekolah
3)
Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran Sekolah.
4)
Identifikasi fungsi-fungsi yang diperlukan
5)
Analisis SWOT
6)
Alternatif Pemecahan Masalah
7)
Rencana dan Program Sekolah
8)
Implementasi Rencana dan Program Sekolah
9)
Evaluasi Pelaksanaan
10)
Sasaran Baru
f.
Hambatan-hambatan MBS
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak
berkepentingan dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut :
1.
Tidak Berminat Untuk
Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain
pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta
dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah
harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut
perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki
banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan
mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau
tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
2.
Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif
adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan
dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja
sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
3.
Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah
kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif
karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas
itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak
berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai
terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil
kemungkinan besar tidak lagi realistis.
4.
Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama
sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan
partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan
keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya,
pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
5.
Kebingungan Atas Peran dan
Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat
terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS
mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan
yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan
sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
6.
Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan
yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa
itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing
yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.
B. Otonomi Pendidikan
a.
Konsep Otonomi Pendidikan
Pelaksanaan otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan merupakan konsekwensi
dari UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang kemudian
disempurnakan menjadi UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No
33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuanagan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Salah satu komponen penyelenggaraan pemerintah yang disentralisasikan ke daerah
Tingkat I (Provinsi) dan Tingkat II (Kabupaten) adalah dalam penyelenggaraan
pendidikan dasar dan menengah yang mencakup SD, SLTP, dan SLTA.[7]
Otonomi berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti
“sendiri” dan nomos yang berarti “hukum” atau “atauran”. Sedangkan
menurut Ateng Syafrudin mengatakan bahwa istilah otonomi mempunyai makna
kebebasan dan kemandirian, tetapi bukan kemerdekaan[8]
Desentralisasi
pendidikan dapat terjadi dalam tiga tingkatan, yaitu Dekonstrasi, Delegasi dan
Devolusi (Fiorestal, 1997). Dekonstrasi adalah proses pelimpahan sebagian
kewenangan kepada pemerintahan atau lembaga yang lebih rendah dengan supervisi
dan pusat. Sementara Delegasi mengandung makna terjadinya penyerahan kekuasaan
yang penuh sehingga tidak lagi memerlukan supervisi dan pemerintah pusat. Pada
Tingkat Devolusi di bidang pendidikan terjadi apabila memenuhi 4 ciri, yaitu
(1) terpisahnya peraturan perundangan yang mengatur pendidikan di daerah dan di
pusat; 2) kebebasan lembaga daerah dalam mengelola pendidikan; 3) lepas dari
supervisi hirarkhis dan pusat dan 4) kewenangan lembaga daerah diatur dengan
peraturan perundangan. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, proses desentralisasi
pendidikan di Indonesia berdasarkan UU No.22 tahun 1999 lebih menjurus kepada
Devolusi, yang pertaruran pelaksanaannya tertuang pada Peraturan Pemerintah
No.25 Tahun 2000, seluruh urusan pendidkan dengan jelas menjadi kewenangan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, kecuali Pendidikan Tinggi. Kewenangan
Pemerintah Pusat hanya menetapkan standar minimal, baik dalam persyaratan calon
peserta didik, kompetensi peserta didik, kurikulum nasional, penilaian hasil
belajar, materi pelajaran pokok, pedoman pembiayaan pendidikan dan
melaksanakan fasilitas (Pasal 2 butir II).
Dalam
konteks otonomi pendidikan, secara alamiah (nature) pendidikan adalah otonom.
Otonomi pada hakikatnya bertujuan untuk memandirikan seseorang atau suatu
lembaga atau suatu daerah, sehingga otonomi pendidikan mempunyai tujuan untuk
memberi suatu otonomi dalam mewujudkan fungsi manajemen pendidikan kelembagaan.
Sedangkan,
pengertian otonomi pendidikan sesungguhnya terkandung makna demokrasi dan
keadilan sosial, artinya pendidikan dilakukan secara demokrasi sehingga tujuan
yang diharapkan dapat diwujudkan dan pendidikan diperuntukkan bagi kepentingan
masyarakat, sesuai dengan cita-cita bangsa dalam mencerdaskan bangsa.
Pengertian otonomi dalam konteks desentralisasi
pendidikan, menurut Tilaar mencakup enam aspek, yakni :
(1) Pengaturan perimbangan kewenangan pusat dan
daerah,
(2) Manajemen partisipasi masyarakat dalam
pendidikan,
(3) Penguatan kapasitas manajemen pemerintah
daerah,
(4) pemberdayaan bersama sumber daya
pendidikan,
(5) hubungan kemitraan “stakeholders”
pendidikan
(6)
pengembangan infrastruktur sosial.
Sebagai konsekwensi lain dalam dari
sistem desentralisasi adalah juga masalah pendidikan. Bila pada saat
sentralisasi dana pendidikan banyak di cover dari pusat, maka sekarang
tergantung dari pemerintah daerah dan masyarakat. Community Based Education
merupakan pendidikan yang berbasis masyarakat yang berkembang sebagai
konsekwensi dari rencana otonomi daerah yang dengan sendirinya akan terdapat
otonomi terhadap bidang lain termasuk pendidikan.
Adapun hal- hal yang akan
didesentralisasikan adalah:
a.
Masalah yang menyangkut bidang akademik, diantaranya masalah
kurikulum yang harus disesuaikan dengan kondisi lokal masing- masing.
b.
Masalah yang menyangut bidang non akademik, seperti membuat
perencanaan keuangan, administrasi, personalia, dan sebagainya.
Untuk melaksanakan otonomi dengan
sebaik- baiknya, ada beberapa faktor yang perlu mendapat perhatian. Iglesias
menyebutkan faktor- faktor tersebut adalah: Resources, Structure, Technology,
Support, dan leadership.
Dengan bahasa yang lain Drs. Josef
Riwu Kaho, MPA., mengelompokan lima faktor diatas menjadi empat, yakni:
a)
Manusia pelaksananya harus baik;
b)
Keuangan harus cukup dan baik;
c)
Peralatannya harus cukup dan baik;
d)
Organisasi dan manajemennya harus baik
Visi pokok dari otonomi dalam
penyelenggaraan pendidikan bermuara pada upaya pemberdayaan (empowering)
terhadap masyarakat setempat untuk menentukan sendiri jenis dan muatan
kurikulim, proses pembelajaran dan sistem penilaian hasil belajar, guru dan
kepala sekolah, fasilitas dan sarana prasarana untuk putra- putri mereka.
Termasuk dalam visi pemberdayaan ini
adalah bahwa pemerintah tidak seharusnya yang menyelenggarakan pendidikan
tetapi membantu dan memfasilitasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan
melalui skema subsidi- subsidi sesuai kemampuan masyarakat.
Adapun Misi merupakan target
pencapaian jangka pendek, menengah dan panjang dalam merealisasikan
terselenggaranya otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan. Misi jangka pendek
adalah membangun perangkat infra struktur system pendidikan yang memihak pada
pemberdayaan masyarakat akar rumput melalui kebijakan restrukturisasi dalam
sistem pendidikan. Misi jangka menengah adalah memantapkan infra struktur
melalui kebijakan rekapitalisasi terhadap komponen penunjang dalam system
pendidikan. Sedangkan misi jangka panjang adalah membangun lembaga pendidikan
yang mandiri secara akademik dan finansial melalui kebijakan restrukturisasi dan rekapitulisasi yang
berkesinambugan.[9]
konsep
otonomi pendidikan mengandung pengertian yang luas, mencakup filosofi, tujuan,
format dan isi pendidikan serta manajemen pendidikan itu sendiri. Implikasinya
adalah setiap daerah otonomi harus memiliki visi dan misi pendidikan yang jelas
dan jauh ke depan dengan melakukan pengkajian yang mendalam dan meluas tentang
trend perkembangan penduduk dan masyarakat untuk memperoleh konstruk masyarakat
di masa depan dan tindak lanjutnya, merancang sistem pendidikan yang sesuai
dengan karakteristik budaya bangsa Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika dalam
perspektif tahun 2020. Kemandirian daerah itu harus diawali dengan evaluasi
diri, melakukan analisis faktor internal dan eksternal daerah guna mendapat
suatu gambaran nyata tentang kondisi daerah sehingga dapat disusun suatu
strategi yang matang dan mantap dalam upaya mengangkat harkat dan
martabat masyarakat daerah yang berbudaya dan berdaya saing tinggi melalui
otonomi pendidikan yang bermutu dan produktif.
b. Pelaksanaan Otonomi Pendidikan.
b. Pelaksanaan Otonomi Pendidikan.
Kebijakan
pemerintah mengenai otonomi pendidikan
a.
Arah kebijakan nasional
Kebijakan
pendidikan (educational policy) menurut carter v Good (1959) sebagai suatu
pertimbangan (judgement) ang didasarkan atas sistem nilai (value) dan
beberapapenilaian terhadap faktor faktor yang bersfat situsional. Pertimbangan
tersebut dijadkan sebagai dasar ntuk mengoprasikan pendidikan yang bersifat
lembaga.
Kebijakan
pendidikan dapat di himpun atau dikelompokan pada empat kelompok yaitu:
1.
Kebijakan yang berkenaan dengan fungsi esensial lembaga pendidikan
terutama dalam hubnganna dengan kurikulum penepatan tujuan, rekruitmen tenaga
kependidikan, peneriman siswa atau mahasiswa , dan sebagainya
2.
Kebijakan mengenai lembaga yang didalamnya ada faktor faktor
individual dan keseluruhan sisem kependidikan atau bagian dari lembaga
pendidikan itu.
3.
Kebijakan yang berkaita dengan penerimaan dan penarikan tenaga
kerja, promosi, pengawasan dan penggantian keseluruhanstaf
4.
Kebijakan yang berkaitan dengan pengalokasian sumber finansial,
gedng, dan perlengkapan sebagai pendukung utama diselenggarakannya rogram
pendidikan khususnya pembelajaran.
Kebijkan
pendidikan meliputi seluruh sistem pendidikan mulai dari aktivitas dapertemen
pendidikan nasional, pemerinah provinsi, pemerintah kabupaten/kota dan
legislatif yang menyertainya serta satuan pedidikan yang memerlukan kebijkan
pendukung bertingkat. Kebijakan tersebut mencakupseluruh bidang operasi
pendidikan pada semua tataran pengambilan kebijakan.[10]
Kebijakan
pendidikan selalu berkaitan dengan aspek poitik paa setiap negara termasuk
indonesia sebab pendidikan memang sutu kebijakan yang menyangkut hajat hidup
orang banyak(public). Pendidikan itu menurut fiske (1998 9-10-14) cnenderung
bermuatan politik sebab sistem persekolahan itu merupaan
1.
Pemersatu nilai nilai bangsa
2.
Sumber kekuatan politik
3.
Wahana untuk menggunakan kekuasaan
4.
Senjata politik
Arah kebijakan
desetralisasi pendidikan indonesia sebagaimana yang tertuang di dalam undang
undang no 22 1999 tentang pemerintah daerah dan UU no 25 tahun 1999 tentang
perimbangan keuangan pusat da daerah yang memberi penekanan bahwa pendidikan
merupakan kewenangan pada daerah kabupaten/kota. Artinya bahwa proses tawa
menawar politik ntk desentralisasi pendidikan ang dilakukan berada pada
pemerintahan daerah tingkat kabupaten/kota. Fiske mengatakan bahwa
desentralisasi sebagai strategi merupakan rekayasa politik berkala karena
maksud yang tersurat adalah untuk mengubah sttus quo politik dengn menyerahkan
sebagian kewenangan dari satu tingkat pemerintahan dan seperangkat aparatnya
ketingkat dibawahnya.[11]
Armida S. Alisjahbana menyebutkan bahwa dalam wujud pelaksanaan desentralisasi pendidikan, ada
beberapa kewenangan-kewenangan pendidikan yang dapat didisentralisasikan, yakni
sebagai berikut:[12]
Komponen
pendidikan
|
Kewenangan
|
Organisasi
dan poses belajar Mengajar
|
· Menentukan sekolah
mana yang dapat diikuti seorang murid.
· Waktu
belajar di sekolah.
· Penentuan buku yang
digunakan.
· Kurikulum.
· Metode
pembelajaran.
|
Manajemen
guru
|
-
Memilih dan memberhentikan kepala sekolah.
-
Memilih dan memberhentikan guru.
-
Menentukan gaji guru.
-
Memberikan tanggung jawab pengajaran kepada guru.
-
Menentukan dan mengadakan pelatihan kepada guru.
|
Struktur
dan perencanaan
|
- Membuka atau menutup suatu sekolah.
- Menentukan program yang ditawarkan sekolah.
- Definisi dari isi mata pelajaran.
- Pengawasan atas kinerja sekolah.
|
Sumber
daya
|
-
Program pengembangan sekolah.
-
Alokasi anggaran untuk guru dan tenaga administratif
(personnel).
-
Alokasi anggaran non-personnel.
-
Alokasi anggaran untuk pelatihan guru.
|
Otonomi
pendidikan yang benar harus bersifat accountable, artinya kebijakan pendidikan
yang diambil harus selalu dipertanggungjawabkan kepada publik, karena
sekolah didirikan merupakan institusi publik atau lembaga yang melayani
kebutuhan masyarakat. Otonomi tanpa disertai dengan akuntabilitas publik bisa
menjurus menjadi tindakan yang sewenang-wenang
MATRIKS ANALISIS OTONOMI SEKOLAH[13]
Aspek terkait
|
Pendekatan analisisi
|
|||
restrospektif
|
prospektif
|
integrtif
|
SWOT
|
|
Politik (regulasi
|
Kekuatan tertinggi standarisasi kurkulum,
kelembagaan an ketenagaan ada pada menteri pendidikan sedangkan peran
pemerintah provinsi dan kabupaten/kota memberi pelayanan kepada sekolah
sehingga kebijkan selalu berdasarkan petnjuk
|
·
Menjadikan sekolah sebagai mitra terpercaya masyarakat
yang mampu berperan sebgai kekuatan moral menuju masyarakat madani yang lebih
demokratis
·
Meningkatkan akutabilitas dan kredibilitas sekolah pada
masyarakat dan mengurangi intervensi pemerintah
|
Mentri endidikan sebagai penguasa tertinggi
tetap diakuai tetapi kebijakan selalu bersandar pada pertimbangan keputusan
bertingkat yaitu sekolah, kabupaten/kota dan provinsi
|
Kekuta maju tidaknya suatu sekolah sangat
tergantung pada kemauan, kemampuan dan kedinamisan satuan pendidikan
kelemahan. Bagi sekolah yang tidak memiliki daya saing akan ditinggal oleh
peminatnya peluang kreativitas dan inovasi sekolah aan terji tantangan
sekolah kurang siap dari segi suber daya.
|
Edukatif (substansi)
|
Kurikulum pada dasarnya bermuatan nasional
|
Persaingan mutu dan relevansi
|
Keseimbanan aturan dan profesionalisme
|
Tantangan dan harapan dalam mencapai tujuan
pendidikan
|
Administratif (teknik)
|
Pertanggung jawaban sepenuhnya pada mentri
|
Pertanggung jawaban kepada masyarakat dan
pemerintah pusat
|
Pemberdayaan institusi satuan pendidikan
|
Hambatan dan tantangan menejemen berbasisi
sekolah
|
Finansial (support)
|
Anggaran belanja sangat tergantung kepada
pemeintah daerah dan pusat
|
Anggarn dapat dirancang / dicari sendiri
berdasarkan potensi sekolah
|
Potensi sekolah di maksimalkan dan
pemerintah memberikan subsidi
|
Model pembiayaan mengacu kebutuhan
pembelajaran.
|
Out put pendidikan diharapkan tidak hanya menjawab kebutuhan ekonomi, poitik dan pemerintah etapi kebijakan pendidikan juga harus menjawab persoalan persoalan internalnya sendiri seperti halnya bagimana pengelolaan pada semua lembaga pendidikan. Yang dapat menjamin kualitas pengelolan dan kualitas output hal ini merupakan isu nyata yang harus dianalisis bedasarkan
a.
Aspek tujuan kebijakan ada empat aspek wibawa. Samudra(1994:9)
yaitu: proses pembuatan kebijakan, proses implementasi, konsekuensi kebijakan
dan efektifikas dampak kebijakan.
b.
Aspek dampak kebijakan.
c.
Aspek pelaksanaan kebijakan.
Tujuan (goal) pelaksanaan hasil(out comes) dampak
ide dasar
|
|
|
|
||||||||
c. Permasalah Otonomi Pendidikan.
Pembagian kewenangan dan
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, memberikan fokus bahwa
pelaksanaan otonomi daerah adalah didaerah kabupaten dan daerah kota. Dalam situasi
yang demikian ini, baik dari segi kewenangan maupun sumber pembiayaan dibidang
pendidikan, daerah kabupaten atau kota akan memegang peranan penting terutama
dalam pelaksanaannya. Sementara itu koordinasi dan singkronisai program
pendidikan perlu di tingkatkan agar mampu menghindari ego kewilayahan. Untuk
itu pelaksanaan desentralisasi pendidikan, menjadi penting kiranya kita
mengantisipasi masalah-masalah yang mungkin dihadapi dalam pelaksanaannya dan
diantara masalah itu adalah:[14]
1.
Kepentingan
Nasional
Salah satu tujuan nasional yang dicita-citakan
dalam pembukaan UUD 45, yaitu “Mencerdaskan kehidupan bangsa” . Untuk mencapai
hal tersebut pasal-pasal dalam UUD 1945 dengan segala amandemennya menegaskan
demokratisasi dan pemenuhan hak-hak dasar bagi semua warga negara untuk
memperoleh pendidikan.
2.
Peningkatan
mutu
Ada
tiga kemampuan dasar yang diperlukan agar masyarakat indonesia dapat ikut dalam
persaingan global, yaitu kemampuan menejemen, teknologi dan kualitas SDM yang
semua itu dapat dicapai melalui pendidikan yang bermutu
3.
Efisiensi
pengelolaan
pelaksanakanotonomi
daerah juga diharapkan dapat meningkatkan efesiensi pengelolaan (technical
efficiency) maupun efisiensi dalam mengelolakan anggaran (economic efficiency)
4.
Sumber Daya
Manusia
Sumber daya manusia merupakan pilar yang paling
utama dalam melakukan implementasi otonomi pendidikan. SDM selama ini belum
memadai, maksudnya yaitu berhubungan dengan kuantitas dan kualitas SDM tersbut
5.
Pemerataan
Pelaksanaan otonomi
pendidikan dapat meningkatkan aspirasi masyarakat akan pendidikan yang
diperkirakan akan juga meningkatkannya pemerataan memperoleh kesempatan
pendidikan
6.
Peranserta Masyarakat
Salah satu tujuan otonomi
daerah adalah untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan
kreatifitas, meningkatkan peranserta masyarakat
7.
Pengawasan Pendidikan
Sistem pendidikan nasional termasuk aspek kepengawasannya diharapkan
memiliki kemampuan untuk merespon berbagai tuntutan daerah, terus bersaing
secara global
8.
Masalah Kurikulum
Sebagaimana telah kita
ketahui bahwa kondisi masyarakat indonesia sangat heterogen dengan berbagai
macam keragamannya, seperti budaya, adat, suku, SDA dan bahkan SDM-nya.
Masing-masing daerah mempunyai esiapan dan kemampuan yang berbeda dalam
pelaksanaan otonomi penidikan.
BAB III
simpulan
MBS adalah model manajemen sekolah yang
memberikan otonomi kepada sekolah dan menekankan keputusan sekolah sbersama/
partisipatif dari semua warga sekoalh dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan
berdasarkan kebijakan pendidikan nasional. MBS memberikan kemungkinan sekolah
memiliki kewenangan yang besar mengelola sekolahnya agar lebih berdaya kreatif
sehingga dapat mengembangkan program- program yang lebih cocok dengan kebutuhan
dan potensi sekolah.
MBS pada dasarnya adalah memberikan otonomi
yang luas kepada sekolah untuk mengembangkan dirinya yang tidak selalu terikat
dengan konsep-konsep sentralistik dan lebih menekankan pada konsep otonomi
pendidikan.
Otonomi pendidikan merupakan kekuasaan yang
diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur,
mengelolah, mengorganisir urusan pendidikan yang secara tidak langsung di awasi
oleh pemerintah pusat. Otonomi juga diartikan sebagai kemandirian suatu daerah
untuk mengatur daerahnya secara mandiri.
Dalam konteks otonomi pendidikan, secara
alamiah (nature) pendidikan adalah otonom. Otonomi pada hakikatnya bertujuan
untuk memandirikan seseorang atau suatu lembaga atau suatu daerah, sehingga
otonomi pendidikan mempunyai tujuan untuk memberi suatu otonomi dalam
mewujudkan fungsi manajemen pendidikan kelembagaan. Desentralisasi pendidikan berbeda dengan desentralisasi di bidang
pemerintahan lainnya, di mana disentralisasi pada bidang pemerintahan berada
pada tingkat kabupaten/kota. Sedangkan desentralisasi pendidikan tidak hanya
berhenti pada tingkat kabupaten/kota saja, tatapi justru sampai pada lembaga
pendidikan atau sekolah sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan
DAFTAR PUSTAKA
Armida
S. Alisjahbana. 2000. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan,
(Bandung, Universitas Padjajaran,)
Fatah Syukur. 2011. Manajemen Pendidikan berbasis pada madrasah,
(semarang: pusraka rizki).
Hasbullah.
2007. Otonomi Pendidikan; Kebijakan Otonomi Daerah Dan Implikasinya
Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,)
Ibtisam Abu-Duhou. 2002. School Based
Management, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu).
Nanang Fatah.2004. Manajemen Berbasis Sekolah dan Dewan Sekolah
(Bani Quraisy : Bandung)
Nurdin Matry. 2008. Implimentasi Dasar-Dasar
Manajemen Sekolah Dalam Era Otonomi Daerah, (Makasar: Aksara Madani,)
Nurkolis.
2006. Manajemen Berbasis Sekolah,
(Grasindo: Jakarta)
Syaiful
Sagala. 2009. administrasi Pendidikan Kontemporer, (alfabeta, bandung,)
[1] Nanag Fatah, Manajemen Berbasis Sekolah dan Dewan Sekolah (Bani
Quraisy : Bandung) hal 16
[2] Nanang Fatah , hal 29.
[3] Fatah Syukur , Manajemen Pendidikan berbasis pada madrasah,
(semarang: pusraka rizki) 2011.
[6] Nanang Fatah, hal 33
[8] Hasbullah, Otonomi
Pendidikan; Kebijakan Otonomi Daerah Dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan
Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007) h. 7
[11] Saiful Sagala , hal 118
[12] Armida S. Alisjahbana, Otonomi
Daerah dan Desentralisasi Pendidikan, (Bandung, Universitas Padjajaran,
2000), hal 3
[13] Saiful Sagala, hal 113
[14] . Nurdin Matry, Implimentasi
Dasar-Dasar Manajemen Sekolah Dalam Era Otonomi Daerah, (Makasar:
Aksara Madani, 2008) hal 7
Comments
Post a Comment