B. KONSEP KYAI (Lanjutan)
KONSEP KYAI
Written By Zaini Hafidh
Di dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (DEPDIKNAS, 2002:565), ‘Kyai’ mengandung arti 1).
Sebutan bagi alim ulama (cerdik pandai dalam agama Islam), 2). Alim Ulama, 3).
Sebutan bagi guru ahli ilmu ghaib, 4). Kepala Distrik ( Di Kalimantan Selatan
), 5). Sebutan yang mengawali nama benda yang di anggap bertuah.
Kyai merupakan
elemen esensial dari sebuah pondok pesantren. Ia seringkali bukan merupakan
pendirinya. Sudah sewajarnya bahwa pertumbuhan suatu pesantren semata-mata
bergantung pada kemampuan kyai nya. Zamakhsari Dhofier (2011:93) mengemukakan
bahwa menurut aal usulnya, perkataan kyai di pakai untuk ketiga jenis gelar
yang saling berbeda :
1.
Sebagai
gelar kehormatan bagi barang-barang yang di anggap keramat, umpanya Kyai Garuda
Kencana dipakai untuk sebutan kereta emas yang ada di keratin Yogyakarta.
2.
Gelar
kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya.
3.
Gelar
yang diberikan oleh masyarakat kepada ahli agama Islam yang memeiliki atau
menjadi pemimpin pesantren dan mengajarkan kitab-kitab klasik kepada para
santrinya.
Kyai adalah
pemimpin non formal sekaligus pemimpin Spiritual, dan posisinya sangat dekat
dengan kelompok-kelompok masyarakat lapisan bawah di desa-desa. Sebagai
pemimpin masyarakat, kyai memiliki jemaah komunitas dan masa yang di ikat oleh
hubungan keguyuban yang sangat eratdan ikatan budaya paternalistik
(Qomar,tt:29)
Kyai adalah
orang yang memiliki pondok pesantren, dan menguasai pengetahuan agama serta
secara konsisten menjalankan ajaran-ajaran agama. Tetapi ada lagi sebutan kyai
yang ditujukan kepada mereka yang mengerti agama, tanpa memilik lembaga pondok
pesantren atau tidak menetap dan mengajar di pondok pesantren
(Sukamto,1999:85). Kyai Merupakan Pendiri sebuah pesantren akan hidup
berinteraksi dengan masyarakat sekitar dan masyarakatpun merasa memilikinya
(Mahmud,2011:288).
Para Kyai secara Antropologis adalah mereka yang ahli agama,
tinggal di para santrinya, jauh dari kepentingan dan pendekatan politik,
menjadi teladan, kesederhanaan, dan keshalehan hidup. Kyai adalah tenpat
bertanya bagi masyarakat bukan santri, untuk meminta nasihat sejak dari member
nama anak yang baru lahir, sampa pembagian harta waris serta problema sosial
lainnya (Nata,2012:310).
Posisi dan
peran Kyai yang mampu menjebatani dalam proses transformasi nilai-nilai
cultural yang berkembang di tengah masyarakat ini telah menempatkan kyai
sebagai Cultural broker. Horiko Horikoshi (dalam Islami,2003:109)
mencoba merevisi tesis yang dikemukakan oleh Greetz tersebut di atas.
Berdasarkan penelitian yang dilakukannya, Horikoshi mengajukan tesis baru nya
sebagai berikut
1.
Kyai tidak bersikap meredam terhadap perubahan yang terjadi, akan
tetapi ia justru mempelopori perubahan dengan caranya sendiri
2.
Kyai bukan melakukan penyaringan informasi, melainkan menawarkan
agenda perubahan yang dianggapnya sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat yang
di pimpinnya
3.
Kyai bukannya kuran berperan, akan tetapi ia berperan sepenuhnya
karena ia mengerti bahwa perubahan sosial merupakan perkembangan yang tidak
terelakan.
Kyai Merupakan Central
Figure setiap Pondok Pesantren. Central
Figure kyai bukan saja karena keilmuannya, melainkan juga karena kyai lah yang
menjadi pendiri, pemilik, dan pewakaf pesantren itu sendiri, perjuangannya tak
terbatas pada ilmu, tenaga, waktu, tetapi juga tanah dan materi lainnya
diberikan demi kemajuan syiar Islam (Suharto,2011:84). Kyai adalah tokoh
Kharismatik yang diyakini memiliki pengetahuan agama yang luas sebagai pemimpin
sekaligus pemilik (Muthohar,2007:103).
Keberadaan seorang kyai sebagai
pemimpin pesantren, ditinjau dari tugas dan fungsinya dapat dinilai sebagai
fenomena kepemimpinan yang unik. Legitimasi kepemimpinan seorang kyai secara
langsung diperoleh dari masyarakat yang menilai tidak saja dari segi keahlian
ilmu-ilmu agama serta banyaknya murid seorang kyai melainkan dinilai pula dari
kewibawaan yang bersumber dari ilmu.
Karel
A. Steebrink (1994:109) mengemukakan bahwa:
“Dalam masyarakat
tradisional, seorang dapat menjadi kyai atau di sebut kyai karena diterima
masyarakat sebagai kyai, karena orang datang minta nasehat kepadanya atau
mengirimkan anaknya belajar kepada kyai. Memang untuk menjadi kyai tidak ada criteria
formal seperti persyaratan studi, ijazah dan sebagainya. Gelar itu datang dari
masyarakat dan mengangkatnya dan otoritasnya lahir dari para pengikutnya. Akan
tetapi ada beberapa syarat nonformal yang harus di penuhi seorang kyai dan hal
ini akan menentukan seorang menjadi kyai besar atau kecil.”
H. Aboebakar
Atjeh (dalam Steenbrink, 1994:110) menyebutkan beberpa faktor yang menyebabkan
seorang menjadi kyai besar : 1). Pengetahuannya, 2). Kesalehannya, 3).
Keturunannya, 4). Jumlah Muridnya. Vrendenbregt (dalam Steebrink, 1994:110)
bahwa untuk menjadi kyai itu adalah 1).
Keturunan, 2). Pengetahuan agama, 3). Jumlah Muridnya, 4). Cara dia mengabdikan
diri kepada masyarakat. Menurut Horikoshi (Dalam Tafsir,2010:194) kekuatan Kyai
atau ulama itu berakar pada 1). Kredibilitas moral, 2). Kemampuan mempertahan
kan pranata sosial yang diinginkan.
“Kyai merupakan figur sentral, otoritatif
dan pusat seluruh kebijakan dan perubahan. Hal ini erat hubungan nya dengan dua
factor : Pertama, kepemimpinan yang tersentralisasi pada individu yang
bersandar pada charisma serta hubungan yang bersifat paternalistic.
Kebanyakan pesantren masih menganut seba mono : mono manajemen dan mono
administrasi sehingga tidak ada delegasi kewenangan ke unit-unit kerja yang ada
dalam organisasi. Kedua, kepemimpinan bersifat individu. Otoritas ini sebagai
pendidiri dan pengasuh pesantren sangat besar dan tidak bisa di ganggu gugat.
Faktor nasab juga kuat sehingga kyai bisa mewariskan kepemimpinan pesantren
kepada anaknya” (Masyud,2003:15).
Posisi kyai yang serba menentukan itu akhirnya justru
menyumbangkan terbangunya otoritas mutlak. kyai adalah pemimpin tunggal yang
memegang wewenang hampir mutlak (Qomar,tt:31). Kepemimpinan kyai sering di
identikan dengan sebutan kepemimpinan kharismatik, sekalipun telah lahir
pemetaan kedudukan dan fungsi dalam struktur organisasi pesantren
(Sukamto,1999:21).
Dalam sistem otoriter, proses kreativitas anggota
masyarakat tumbuh lamban, semua kegiatan keputusan terpusat pada pemimpin.
Dalam hal ini, pemimpin seringkali secara sepihak menenutkan apa, bagaimana dan
kapan partisipasi para anggota harus dilaksanakan (Sukamto,1999:33). Jadi dalam
konteks kepemimpinan, hubungan pimpinan dan bawahan tidaklah di maksudkan untuk
menciptakan diskriminasi kedudukan, melainkan agar hubungan
Abdurrahman
Mas’ud (2004, 236-237) memasukkan Kyai kedalam lima tipologi, yakni
1. Kyai (ulama) encyclopedi dan
multidispliner yang mengonsentrasikan diri dalam dunia ilmu; belajar,
mengajar, dan menulis, menghasilkan banyak kitab seperti Nawai Al-Bantani. Kyai
ini produktif menciptakan karya-karya yang hasil karyanya tetap abadi dan
menjadi rujukan di berbagai pondok pesantren.
2. Kyai yang ahli dalam salah satu
spesialisai bidang ilmu pengetahuan Islam. Karena keahlian meraka dalam
berbagai lapangan ilmu pengetahuan pesantren, mereka terkadang dinamai sesuai
dengan spesialisasi mereka, misalnya pesantren Al-quran. Kyai ini mengembangkan
keilmuannya di masyarakat dan menjadi cirri khas nya di masyarakat seperti
halnya kyai yang ahli di bidang tafsir akan di kenal sebagai ahli tafsir di
zaman nya.
3. Kyai Kharismatik, yang
memperoleh karismanya dari ilmu pengetahuan keagaamaan, khususnya sufisme,
seperti KH. Kholil Bangkalan Madura. Hanya sedikit sekali Kyai yang memiliki
predikat kyai kharismatik, dan sosok-sosok kyai ini memiliki pengaruh besar di
masanya dan di masa setelah beliau wafat.
4. Kyai Dai Keliling, yang
perhatian dan keterlibatannya lebih besar melalui ceramah dalam menyampaikan
ilmunya sebagai bentuk interaksi dengan publik bersamaan dengan misi Sunnisme
atau Aswaja dengan bahasa retorika efektif. Kyai ini memiliki peranan yang
kompleks di masyarakat sebagai bagian dari agent of change, dan menjadi
pengawal kehidupan masyarakat menuju terciptanya masyarakat rekigius.
5. Kyai Pergerakan, yakni karena
peran dan skill kepemimpinannya yang luar biasa, baik dalam masyarakat maupun
organisasi yang didirikannya, sehingga menjadi pemimpin yang menonjol. Seperti
KH. Hasyiem Asyarie. Kyai dan pergerakan seakan menjadi dua sisi yang
berjauhan, tapi sosok kyai seperti ini menjadi sebuah pencerahan di masanya dan
menjadi jawaban dari keresahan masyarakat dalam melakukan pergerakan terhadap
ketidakadilan.
Comments
Post a Comment