D. POLA KEPEMIMPINAN KYAI (Lanjutan)
POLA KEPEMIMPINAN KYAI
Written By Zaini Hafidh
Pola kepemimpinan seorang kyai di pesantren di dukung
oleh watak sosial komunitas di mana ia hidup. Hal itu masih di tambah lagi
dengan konsep-konsep kepemimpinan Islam di wilayatul imam dan pengaruh ajaran
sufi. Dengan demikian dapat difahami mengapa pola kepemimpinan Kyai dapat
menjadi sedemikian rupa sentralnya dalam kehidupan di pesantren, dimana
kekuasaan mutlak berada di tangan kyai. sehingga pola kepemimpinannya cenderung
otoriter, ini terjadi secara otomatis mengingat kyai merupakan sosok atau figur
guru besar pesantren yang membawa barokah.
Pola kepemimpinan kyai di pesantren yang selama ini
kurang kondusif terhadap modernisasi perlu diubah menjadi pola kepemimpinan
yang responsif terhadap kemajuan zaman. Pola tersebut haruslah mengarah pada
kegiatan yang melibatkan lebih banyak orang lain lagi dalam jajaran
kepemimpinan (Qamar, 2007:70)
Gaya
kepemimpinan adalah pola menyeluruh dari tindakan seorang pemimpin, baik yang
tampak maupun tidak tampak oleh bawahannya. Gaya kepemimpinan menggambarkan
kombinasi yang konsisten dari falsafah keterampilan, sifat, dan sikap yang
mendasari perilaku seseorang. Gaya kepemimpinan yang menunjukan, secara
langsungnmapun tidak langsung termasuk keyakinan pemimpin kepada kemampuan
bawahannya. Artinya gaya kepemimpinan adalah perilaku dan strategi, sebagai
hasil kombinasi dari falsafah, keterampilan, sifat, sikap yang sering
diterapkan seorang pemimpin ketika ia mencoba mempengaruhi bawahannya ( Rivai
dan Mulyadi,2011:42)
Untuk melihat
pola kepemimpinan kyai, kita bisa liaht dari bagaimana gaya kyai itu memimpin,
tipe kepemimpinan apa yang menjadi cirri beliau dan model kepemimpinan seperti
apa yang beliau gunakan, sehingga dengan menganalisis gaya , tipe serta model
kepemimpinan kyai, maka pola kepemimpinannya pun akan dapat diketahui.
Kepemimpinan kyai di pondok
pesantren begitu lekat dengan pola kepemimpinan otoriter, hal ini karena kyai
menjadi Key Person dalam segala hal
di pondok pesantren tersebut. Namun seiring berkembangnya zaman dan
berkembangnya pondok pesantren, peran serta pola kepemimpinan kyai pun
mengalami perubahan. Pembaharuan pondok pesantren terkait kepemimpinan
kyai dapat terjadi pada aspek-aspek: (1)
orientasi; (2) gaya kepemimpinan; (3) sistem suksesi kepemimpinan; dan (4) mutu
pelayanan pendidikannya (http://thedisertation.blogspot.com)
Kyai merupakan sosok penting di
sebuah pesantren, beliau juga yang memberikan kebijakan terkait segala macam
hal tentang kepentingan dan kemajuan pesantren. Kyai juga menjadi orang yang
berwenang dalam pelaksanaan system manajemen pesantren yang terdiri : (1).
Kepemimpinan, (2). Pengambilan Keputusan, (3). Kaderisasi, (4). Manajemen
Konflik ( Masyud,2003:23)
1. Orientasi dan Otoritas
Interaksi antar
proses transformasi eksternal di satu pihak dan proses transformasi internal
pesantren di lain pihak menarik di telusuri lebih lanjut, khususnya tentang
bagaimana suatu inovasi yang berasal dari luar diadopsi oleh pesantren, manfaat
dan mudlarat bagi pesantren dan dampak terhadap inovasi pesantren itu sendiri.
Dalam konteks ini, kompetensi kepemimpinan seorang kyai jelas di pertaruhkan.
Mengenai
Kewenangan seorang pemimpin, Weber dalam (Soebahar,2013:3) mengajukan tigga
macam tipologi kewenangan, yaitu Traditional Authority, Rational Authority
dan Charisnatic Authority.kewenangan pertama merupakan derivasi tradisi
seperti dalam suatu sistem pememrintahan kerajaan atau monarkimkonstitusional.
Kewenangan kedua merupakan derivasi konstitusi yang dibangun atas dasar rasional
semacam birokrasi. Sementara kewenangan ketiga, lebih berdasarkan kualitas
tertentu dari seorang pemimpin yang ditempatkan secara terpisah dan diperlukan
sebagai kekuatan supernatural, manusia super atau sekurangnya dianggap memiliki
kualitas yang bersifat khusus. Sehubungan dengan ketiga tipe kewenangan
pemimpin tersebut, sosok kyai sejatinya merupakan cerminan dari salah satu
bahkan ketiga-tiganya sekaligus.
Legitimasi
terhadap otoritas kyai itu dalam perkembangannya dimapankan melalui berbagai
cara, antara lain dengan jalan menyerahkan otoritas kepmimpinan pesantren
kepada anggota keluarga terdekat, mengembangkan jaringan aliansi perkawinan. Endogamous
antar keluarga kyai dan mengembangkan tradisi transmisi intelektual antar
sesama kyai dan diantara keluarganya itu sendiri.
Kyai tidak
hanya dikategorikan sebagai elite agama, tetapi juga sebagai elite pesantren,
yang memiliki otoritas tinggi dalam menyimpan dan menyebarkan pengetahuan
keagamaan serta berkompeten mewarnain
corak dan bentuk kepemimpinan yang ada di pondok pesantren (Sukamto,1999:13).
Posisi kyai yang serba menentukan itu akhirnya justru cenderung
menyumbanggkan terbangunnya otoritas mutlak. Dalam pesantren, kyai adalah
pemimpin tunggal yang memegang wewenang hampir mutlak, disini tidak ada orang
lain yang lebih dihormati daripada kyai. Ia merupakan pusat kekuasaan tunggal
yang mengendalikan sumber-sumber, terutama pengetahuan dan wibawa yang
merupakan sandaran bagi para santrinya. Kyai mengendalikan seluruh sektor kehidupan
pesantren. Ustadz, apalagi santri, baru berani melakukan sesuatu tindakan di
luar kebiasaan setelah mendapat restu dari kyai. Ia ibarat raja, segala
titahnya menjadi konstitusi baik tertulis maupun konvensi yang berlaku bagi
kehidupan pesantren. Ia memiliki hak untuk menjatuhkan hukuman terhadap
santri-santri yang melanggar ketentuan-ketentuan titahnya menurut kaidah-kaidah
normative yang mentradisi di kalangan pesantre. (Qomar, tt:31).
2.
Pengambilan Keputusan
Pengambilan
keputusan dapat di pandang sebagai tolak ukur utama kinerja seorang pemimpin
pesantren. Semua hasil keputusan pemimpin akan menjadi acuan berfikir, bersikap
dan berbuat komunitas pesantren (Masyud,2003:46). Keptusan dari seorang
pemimpin tidak datang secara tiba-tiba, tetapi memlaui suatu proses.
Pengambilan keputusan yang akan diwujudkan menjadi kegiatan kelompok merupakan
hak dan keawajiban pucuk pimpinan berupa kewenangan itu dapat dilimpahkan.
Kepemimpinan yang memungkinkan pengambilan keputusan
secara bersama karena terdiri dari banyak pimpinan dalam pesantren, maka
sebenarnya telah masuk kategori ideology libelarisme pendidikan. argument yang
dapat dihadirkan terkait permasalah ini adalah bahwa di pesantren telah
diterapkan pola kepemimpinan demokratis partisipatoris yang merupakan
ciri liberalisme pendidikan
Para kyai tidak akan tergesa-gesa dalam mengambil keputusan
terhadap suatu masalah. Mereka tidak hanya mempertimbangkan secara nalar, namun
diikuti oleh gerakan hati nuraninya yang paling dalam dan tidak lupa
menyandarkan secara vertical munajat untuk beristikharoh kepada Allah. Ada dua
model dalam pengambilan keputusan :
1) Model Klasik
Model klasik berasumsi bahwa keputusan harus dibuat sepenuhnya
secara rasional melalui optimalisasi strategi untuk mencari alternatif terbaik
dalam rangka memaksimalisasi pencapaian tujuan dan sasaran lembaga.
Langkah-langkahnya meliputi a) masalah di identifikasi, b) tujuan dan sasaran
ditetapkan, c) semua alternatif yang mungkin di inventarisasi, d) konsekuensi
dari masing-masing alternative dipertimbangkan, e) semua alternatif dinilai, f)
alternatif terbaik dipilih, dan g) keputusan dilaksanakan dan dievaluasi. Dalam
model klasik ini menuntut a) tersedianya sumber daya intelektual yang berlatar
akademik b) langkah-langkah ilmiah yang kaku dan c) terlalu terspesialisasi
secara professional.
2) Model
Administratif
Dalam pengambilan keputusan model administratif ini berasumsi dasar
sebagai berikut:
a)
Proses pembuatan keputusan merupakan siklus peristiwa yang mencakup
identifikasi dan diagnosis terhadap suatu kesulitan, prakarsa terhadap rencana,
dan penilaian terhadap keberhasilannya.
b)
Esensi administrasi pendidikan terletak pada kinerja proses pembuatan keputusan
yang melibatkan individu atau kelompok dalam organisasi.
c)
Berpikir yang sempurna dalam pembuatan keputusan adalah hal yang mustahil
d)
Fungsi utama penyelengaraan pendidikan adalah menyiapkan
lingkungan
yang kondusif bagi setiap anggota organisasi pendidikan untuk terlibat dalam
pembuatan keputusan.
e)
Proses pembuatan keputusan merupakan pola tindakan yang umum terjadi dalam
penyelenggaraan semua bidang tugas dan fungsi lembaga.
f)
Proses pembuatan keputusan berlangsung dengan bentuk generalisasi yang sama
dalam organisasi yang komplek (Masyud, 2002:47-50)
3) Model
partisipatif (participative decision making)
Participative decision making adalah cara pengambilan putusan dengan mengikutsertakan bawahan.
Cara pengambilan putusan dengan cara ini dapat meningkatkan keefektifan
organisasi. Salah satu tolak ukur utama yang biasa digunakan untuk mengukur
efektivitas kepemimpinan seseorang yang menduduki jabatan pimpinan dalam suatu
organisasi ialah kemampuan dan kemahirannya dalam mengambil keputusan.
Partisipasi bawahan dalam pembuatan keputusan di pesantren dianggap
penting karena, partisipasi akan meningkatkan komunikasi antar guru dan
administrator sekaligus meningkatkan kualitas pembuatan keputusan pendidikan
pesantren. Kedua, partisipasi akan dapat memberi kontribusi terhadap mutu kerja
mereka. Dan ketiga, partisipasi dapat mendorong profesionalisasi pendidikan dan
demokratisasi lembaga pesantren. Tetapi ada beberapa syarat untuk menentukan
perlu tidaknya bawahan diikutsertakan atau berpartisipasi dalam proses
pengambilan keputusan, yaitu:
a) Relevansi: apakah ada relevansi antara masalah yang dipecahkan
dengan kepentingan bawahan.
b) Keahlian: apakah bawahan cukup mempunyai pengetahuan tentang
masalah yang akan dipecahkan
c) Jurisdiksi: apakah bawahan mempunyai hak secara legal untuk ikut
serta mengambil bagian dalam proses pengambilan keputusan.
d) Kesediaan: apakah bawahan mempunyai kemauan dan bersedia untuk
ikut serta dalam pengambilan keputusan
3.
Suksesi Kepemimpinan
Perkembangan sebuah pesantren bergantung sepenuhnya kepada
kemampuan pribadi kyainya. Kyai merupakan elemen yang paling pokok dari sebuah
pesantren. Itulah sebabnya kelangsungan hidup sebuah pesantren sangat
bergantung pada pesantren tersebut untuk memperoleh seorang kyai pengganti yang
berkemampuan cukup tinggi pada waktu ditingal mati kyainya. Kepemimpinan
pesantren selama ini pada umumnya bercorak alami. Baik pengembangan pesantren
maupun proses pembinaan calon pimpinan yang akan menggantikan pimpinan yang
ada, belum memiliki bentuk yang teratur dan menetap.
Sarana para kyai yang paling
utama dalam usaha melestarikan tradisi pesantren ialah menmbangun solidaritas
dan kerjasama sekuat-kuatnya antara sesama mereka. Cara praktis yang ditempuh
diantaranya: mengembangkan suatu tradisi bahwa keluarga yang terdekat harus
menjadi calon kaut pengganti kepemimpinan pesantren, mengembangkan suatu
jaringan aliansi perkawinan endogamous antara keluarga kyai, dan mengembangkan
tranmisi pengetahuan dan rantai tranmisi intelektual antara sesama kyai dan
keluarganya. (Dhofier,2011:61)
a. Pola suksesi
kepemimpinan pesantern
Pola pergantian pimpinan
dalam pesantren kebanyakan masih bersifat alami seperti meninggalnya pimpinan
pesantren, pergantian pimpinan berlangsung tiba-tiba dan tidak direncanakan.
Pola pergantian pemimpin yang berlangsung secara tiba-tiba atau mendadak ini
sering kali membawa perbedaan pendapat dan saling berlawanan diantara
calon-calon pengganti. Upaya untuk mengatasi perbedaan pendapat itu sering kali
mengambil waktu sangat panjang, hingga tegaknya kepemimpinan kharismatik yang
baru (Wahid,2001:135)
b. Kaderisasi
pesantren
kaderisasi
kepemimpinan adlah proses mempersiapkan seseorang untuk menjadi pemimpin di
masa depan, yang akan memikul tanggung jawab penting di lingkungan suatu
Negara, lingkungan bangsa, lingkungan masyarakat, lingkungan bisnis yang terdiri
dari kaderisasi Informal dan kaderisasi nonformal (Rivai dan Mulyadi,2011:113)
Kaderisasi pondok pesantren merupakan syarat yang harus ada pada
setiap organisasi termasuk pondok pesantren. Kaderisasi ini harus benar-benar
diperhatikan karena banyak pondok pesanren yang kegiatannya menjadi mati,
dikarenakan wafatnya pimpinan pondok pesantren. Hal ini dikarenakan yang dapat
diturunkan kepada penerusnya adalah ilmu sedangkan kharisma pimpinan pondok
pesantren tidak dapat diwariskan, maka upaya kaderisasi menjadi sangat penting.
Langkah-langkah kaderisasi modern dalam pesantren antara lain melalui tahapan
aktivitas sebagi berikut:
1)
Seleksi kader potensial sejak dini. Seleksi ini menyangkut, baik kemampuan
akademis, maupun kualitas kepribadian, dan kemampuan komunikasi sosialnya.
2)
Pendidikan umum dan pendidikan khusus yang menunjang kebutuhan kader untuk
melaksanakan tugas di masa yang akan dating di pesantren.
3)
Evaluasi bertahap, baik yang menyangkut kemampuan personal
akademik
maupun sosialnya.
4)
Pendidikan remedial bagi santri kader yang mengalami ketertinggalan dalam
proses pendidikan yang ditargetkan.
5)
Praktek magang, untuk mempraktekkan hasil-hasil pendidikan kader yang telah
diterima.
6)
Sertifikasi kader untuk menentukan apakah seorang kader telah memenuhi target
ditetapkan atau masih belum (Masyud,2003:55)
d. Manajemen Konflik
konflik akan selalu mewarnai semua
pengalaman manusia, ia dapat terjadi bahkan dalam diri seseorang, yang biasa
sebagai konflik personal. Lebih-lebih konflik dapat terjadi dalam banyak orang
atau satuan sosial, baik berupa konflik intra-personal dan intra-kelompok.
Begitu pula di lingkunga pesantren sering terjadi pula konflik atara lain
konflik antargur/ustad, ustadz dengan santri, konflik antar santri, pesantren dengan
lingkungan dan pengurus dengan kyai (masyud,2003:58).
Akan tetapi
secara umum untuk mengelola konflik dapat digunakan beberapa pendekatan
alternatif antar lain, pendekatan structural,pendekatan kelompok, pendekatan
bargaining antar pelaku konflik, pendekatan merubah hubungan organisasional,
pendekatan pemecahan masalah dan pendekatan komunikasi antar unit.
Pemimpin harus
mampu mendorong bawahan dan pengikutnya mengemukakan ide-ide sendiri,
berpatisipasi aktif dan mau menerima banyak perbedaan serta keanekaragaman.
Lalu menciptakan kondisi yang merangsang konflik-konflik yang terkendali dan
bisa dijinakan. Jadi manajemen konflik itu tidak hanya mencakup apresiasi
terhadap konflik belaka, akan tetapi juga menstimulusnya. Lalu memcahkan
masalah atau penyelesaiannya dengan baik, menuju pada perbaikan dan peningkatan
organisasi. Adapun alat-alat untuk mengatasi konflik yang terjadi dalam
organisasi atau masyarakat luas antara lain
1. memecahkan masalah melalui sikap kooperatif
2.
mempersatukan tujuan
3. Menghindari
konflik
4. ekspansi dan
sumber energi
5. memperlunak
konflik
6. Kompromi
7. Tindakan
Otoriter
8. mengubah
struktur organisasi dan struktur individu (Kartono,2011:258)
makasih atas infonya
ReplyDelete